IBADAH ITU INDAH CINTA adalah IBADAH

Friday, May 22, 2009






Haji


Haji 2008
Ibadah haji tahun 2008 ini terasa sungguh nikmat seperti yang sering diceritakan oleh para jamaah haji yang baru pulang dari berhaji yang konon membawa kemabruran (?). Tanggal 10 November 2008 berangkat, baru pulang ke tanah air tanggal 20 Desember 2008 juga. Molor satu hari karena, katanya sih, sayap pesawat Garuda kepayahan karena dipakai terbang terus menerus. Meski kita makai pesawat Garuda (GIA) tapi nyataya, di badan bagian dalam pesawat ada tulisan Scandinavian Maskapai, pilotnya bule-bule lagi. Wallahu ’alam bishowab aja deh. Yang penting nyampai di Mekkah dan pulang ke tanah air dengan selamat.

Kronologi
Berangkat tanggal 10 Nov. masuk ke embarkasi Donohudan n dapat pengarahan macem-macem sampai kepembagian uang saku (living cost bahasa inggrisnya, kalau Indonesianya sih Jatah hiDup) sebesar 1500 real (= 4.500.000 rupiah). di Donohudan sudah mulai dimanjakan dengan berbagai fasilitas. Pokoknya enak.

Tanggal11 Nov. jam 12 siang dibawa ke bandara. nunggu sampai pkl 02.00 kira-kira, baru masuk ke pesawat. nunggu n musti sabar. Innalloha ma'a shobirin. je ile. Kira-kira mau berangkat, eh tiba-tiba ada pemberitahuan kalau pintu pesawat rusak. Deg-degan nih jantung (wah bakalan dapat asuransi 50.000.000nih) he he he . Alhamdulillah, pesawat selesai diperbaiki n siap menuju Hang Nadim-Batam.

Selama dalam perjalanan ada-ada saja cerita. maklum kebanyakan jamaah haji baru kali ini naik pesawat, jauh lagi.

Dua jam perjalanan dari bandara Adisumarmo, Boyolali ke Hang Nadim, Batam aku rasakan hanya sebentar dan lancar. Tidak ada yang mabuk, apalagi sampai muntah-muntah. Hanya ada satu calhaj yang tiba-tiba merasakan dingin di sekujur badan dan terpaksa manggil dokter kloter. Setelah diberi obat, sahabat calon haji ini kelihatan pulas sekali (mungkin obat tidur dengan dosis tinggi).

Di dalam pesawat kami terus-terusan dijamu makanan dan minuman, tapi dasar manusia meski perut sudah kenyang ya tetap aja dimakan n diminum he he he. Setelah satu jam berada di Batam untuk membersihkan kotoran jamaah calhaj dan ngisi bensin (aftur ding), pesawat terbang membawa kami ke Jedah, selama kurang lebih 12 jam, dengan ketinggian 11.000 meter. Waah .... lama banguet.

Lagi-lagi tanpa banyak cerita dan tanpa banyak gerak badan, kami dipaksa duduk selama 12 jam atau kalau mau jalan-jalan paling-paling ke toilet untuk pipis, untuk berak ... (wow ... susah n malu-maluin). Kursi yang sempit, sandaran yang hanya mau bergeser kurang dari 15 derajat, membuatku tidak bisa tidur. Kulihat sahabatku yang sakit sudah tidur sangat pulas (curiga: diberi valium dosis tinggi nih). Di ketinggian 11 ribu meter dari tanah, malam hari, aku tidak bisa melihat apa-apa, kecuali wajah istriku. Untuk melihat pramugari yang cantik-cantik (awalnya sih agak judes dan kaya’ wanita penyihir, abis penumpangnya ndesit semua. Disuruh duduk aja ndak bisa. Disuruh matikan henpon juga ndak mau), terus terang aku agak takut, takut ibadah hajiku batal atau tidak sah. Padahal ndak ada hubungannya. Iya kan! He he he

Singkat kata! Tiba di King Abdul Aziz, Jedah, kira-kira pukul 10 malam hari (di Indonesia kira-kira pukul 2 dini hari) . Tidak ada hambatan sama sekali. Kami turun dengan berbagai perasaan, tetapi yang terbanyak adalah perasaan gembira dan haru. Aku tidak menyangka bahwa suatu ketika aku dan istriku bisa menginjakkan kaki di bumi HARAM, di tanah yang pernah dilewati oleh para Nabiullah, di bumi yang dimuliakan oleh Allah swt., di bumi yang setiap tahun didatangi kurang lebih 4 juta manusia dari berbagai penjuru dunia. Mana mungkin orang seperti aku dan istriku bisa menginjakkan kaki di Tanah Suci ini jika tidak karena ke-Mahabesar-an Allah. Aku sujud syukur di bandara King Abdul Aziz, dada ini terasa sesak karena haru, lelah perjalanan tidak lagi aku rasakan. Aku tidak bisa menangis, sementara kulirik di sudut mata istriku ngembeng banyu (menggenang airmata). Wah sentimental sekali.

Segera kami antri untuk melapor ke petugas yang rata-rata tidak bersahabat, atau sok tidak bersahabat. Angker. Ada arab, Bangladesh, ada pula Indonesian. Sahabatku masih teler, masih loyo, dan masih banyak membutuhkan pertolongan sehingga tidak bisa mengurus kopernya sendiri. Antara lelah dan berbagai perasaan lain, kami mengantri satu persatu sambil menenteng paspor. Eh ... ada satu rekan yang ketlisut paspornya, tertukar dengan paspor calon haji dari Banyumas. Aku ikut bingung, karena satu jamaah sholat di mesjid Al Fatah, Ngadirejo, Kartasura. Sambil teriak-teriak manggil-manggil orang yang namanya tertera di paspor, aku menyelesaikan urusan pasporku. Sementara ketua rombongan entah di mana.

Setelah paspor ditemukan, di bawah mata galak petugas haji di Bandara King Abdul Aziz, Jedah, kali pertama aku berbahasa Arab ya di bandara ini. Ketika tiap paspor harus ditempeli stiker exit-permit, kulihat petugas agak kerepotan menghadapi kroyokan calon jamaah haji Indonesia, semua minta didahulukan. Aku kasihan juga, akhirnya dengan sok gagah-berani aku ngomong, “Afwan ya syeikh, tafadolu ijlis.” Ha ha ha ... sampai di situ aku tidak tahu lanjutannya, yang mestinya aku teruskan dengan perkataan “biar kami mengantri satu per satu.” Tapi alhamdulillah, si Arab tahu dan duduk. Aku tertawa di dalam hati. Nah ... lu.

Sayang sekali di Jedah aku tidak ngambil foto sama sekali, karena sibuknya pool. Kami naik bis yang sudah disiapkan. Seperti biasa, manusia di mana pun sama, petugas pengangkut yang rata-rata Arab dan Bangladesh minta uang tip sambil memberikan isyarat dua jari di mulut. Artinya, uang untuk beli rokok. (Haram tuh! Je ile) Supaya tidak muncul masalah, ya kami beri 10 real, padahal sejak awal sudah dilarang memberikan uang tip. Jadi, dosa yang pertama pada waktu ibadah haji he he he

Bis berjalan menembus kegelapan malam. Sopir cukup bersahabat, tapi juga merokok. Udara sama dengan di Indonesia. Bisnya cukup bagus, suspensinya benar-benar terawat. Kanan dan kiri gelap, meski samar-samar aku masih bisa melihat bayangan daratan batu di luar. Semua lanskap di luar selalu berakhir pada batu. Gunung batu, samping kanan dan kiri ya batu pula. Rumah jarang-jarang kami lihat, paling-paling kios istirahat yang senyap. Waktu terus berjalan, bis kami pun juga tetap berjalan. Menjelang sholat subuh, kami mampir di sebuah mesjid kecil. Sholat subuh di sini sudah berbeda benar. Imam sholat berperawakan tinggi, besar, dan hitam. Jamaah juga banyak yang berkulit hitam. Kami rukuk dan sujud bersama-sama, meski tetap ada perbedaan. Tapi toh perbedaan itu kan rohmah, ya kan. Iya kan! (Di sini, aku masih menggunkan waktu Indonesia. Kebangeten kan! Padahal sholat subuh di sini jam 05.45. )

Usai sholat kami melanjutkan perjalanan ke Madinah al Mukaromah untuk arbain. Pukul 08.00 Waktu Arab kami tiba di Madinah dan langsung ke hotel Nuur Al Awal. Subhanallah, hotel tempat kami menginap sangat dekat dengan mesjid Nabawi, di samping mesjid peninggalan sahabat Abu Bakar. Kami tinggal di hotel Nuur Al Awal, satu kamar untuk 5 orang.

Benar-benar aku merasakan adanya perbedaan yang sangat. Sebelum azan sholat fardhu mengumandang, orang-orang berbondong-bondong menuju mesjid. Semua tampak putih menyejukkan mata dan menghibur hati. Seandainya itu juga terjadi ketika di Indonesia, di kampung halaman tercinta. Semua berebut mendapat shof di depan. Orang hitam dari Afrika, India, Pakistan, Bangladesh, semua menyatu dalam aroma surga. Subhanallah.

Pertama kali sholat zuhur di mesjid Nabawi tak mungkin dilupakan, sebab ketika aku sujud dalam sholat sunnah rowatib, ada orang melangkahiku. Subhanallah, kepalaku tertendang kaki orang dari Turki itu saat aku mau tegak dari sujud. Yang aku herankan adalah mereka tidak tahu bahwa ada hadit Nabi yang menyatakan lebih baik menunggu 63 tahun (?) daripada melewati oang yang sedang sholat. Tragedi ini kan bukan melewati, tapi melangkahi. Jadi, tidak salah n dosa juga kan. He he

Selama 8 hari di Madinah khusus beribadah sholat di mesjid Nabawi dan balik ke Hotel. Di hotel makan disediakan pemerintah (Panitia Haji) selama dua kali. Jelas kurang kan. Tapi alhamdulillah banyak juga teman yang tidak doyan masakan panitia haji, yang akhirnya sampai ke aku-aku juga. Aku ini penganut paham realisme, jadi ya santap aja. Lha wong enak, hanya sesekali aku rasakan tidak enak, khususnya pas lauk ikan laut. Aku kan Orang miskin jadi udah biasa makan tidak enak, tidak bergizi, tidak berprotein, dan seterusnya dan seterusnya. Jadi, tidak ada masalah dong! Karena banyak teman yang memberikan ransum makanannya ke aku, so aku makan bisa lebih dari tiga kali. Malam sebelum sholat tahajud, makan. Pulang sholat subuh, makan lagi. Makan lagi n makan lagi. Gemuk neh!

Di sini ada juga yang berjualan bakso. Ada bakso Si Doel, bakso Karawang, bakso, bakso, dan masakan Indonesia. Semua laris manis.

Tempat yang difavoritkan jamaah haji adalah Makam Rasulullah dan Raudhah. Namun demikian, aku justru melihat banyak kemusyrikan dilakukan oleh jamaah haji. Mereka meratap-ratap, berdoa dengan menghadap makam nabi, mengusap-usap tiang yang berdekatan dengan Raudhah dan makam Nabi. Tidak jarang ada jamaah haji yang menangis meraung-raung atau kiss-bye ke makam Rasulullah. Pemerintah sudah menyiapkan banyak polisi di kedua tempat itu. Kata-kata yang favorit diucapkan oleh para polisi adalah “Hajji, thoriq. Hajji, haram. Haram. Thoriq. Thoriq”. Orang-orang tetap larut dalam kemusyrikan, bahkan sampai di dinding di luar di bawah kubah hijau mesjid Nabawi, tempat Rasulullah dimakamkan. Juga, ada teman sesama jamaah haji dari Kartasura yang membeli Alquran untuk dihadiahkan kepada Nabi. Bah, apa pula ini! Emang nabi masih hidup dan perlu membaca Quran. Ndak tahu ya kalau nabi itu hafiz!

Biasanya jika tidak ada kegiatan di mesjid aku jalan keliling kota Madinah. Selama di Madinah aku tidak pernah sekalipun berpapasan dengan anak sekolah. Aku juga tidak menemukan gedung sekolah. Aku heran, apakah sekolah di sini menjadi tidak penting. Tidak seperti di Kartasura aau di Solo. Di mana-mana aku mudah menemukan anak sekolah. Di pasar, di mall, di pangkalan play station, di terminal, di gerumbul-gerumbul semak, di mana pun aku menemukannya. Pernah sih sekali aku salah mengambil jalan. Karena aku sombong merasa sudah akrab dengan Madinah. Aku dipoyoki oleh teman-teman yang ngikut. Malu dan marah tuh! Esok hari aku jalan sendiri, tidak mau ngajak teman atau istri, takut diwelehake.

Hari kesembilan (Rabu, 19 November 2008), perjalanan ke Tanah Suci dimulai. Dengan harap-harap cemas, kami naik bis Mekah. Jarak antara Madinah – Mekah kira-kira 498km sebelum ke pondokan kami mampir Bir Ali untuk ikrar Umrah dan berpakaian ikram. Jalan lurus dan lempang, senyap, tidak banyak kendaraan di jalan. Perjalanan tidak mendapat halangan. Sampai di Mekah sudah malam. Kami langsung menuju Al Aziziah Distrik ke hotel Dar Al Haram untuk menaruh koper dan tas jinjing. Setelah cukup istirahat, kami menuju Masjidil Haram untuk umroh di malam hari kira-kira pukul 01.00 malam/dini hari.

Labaika Allahuma labaik. Labaika la syarikala laka labaik. Innal hamda wal ni’mata laka wal mulk

Melihat Masjidil Haram untuk pertama kali, muncul kekaguman akan kemegahannya. Lagi-lagi, aku tidak menyangka bisa berada di depan pintu King Abdul Aziz Masjidil Haram.
Malam yang cemerlang,
cahaya lampu merkuri yang cerlang-cemerlang,
orang-orang yang khusyuk,
larut dalam kontemplasi total.
Di langit hanya ada satu bintang

Kami yang segera dibariskan untuk segera melaksanakan thowaf umroh, berjalan seperti mukjijat. Begitu tenang dan damai. Dengan melafazkan kalimat Labaika Allohuma labaika... sebelum melewati pintu 1 (King Abdul Aziz), kami berjalan beriringan pelan-pelan memasuki Masjidil Haram melalui pintu (1) King Abdul Aziz . Aku tidak pernah berhenti beristighfar, mengingat dosaku yang menyamudra. Begitu melihat Kakbah, mata batinku terkesiap. Inilah bangunan pertama yang dibangun oleh manusia. Bangunan yang tetap bertahan dan dikagumi oleh umat muslim.

Kami turun perlahan-lahan mendekati Kakbah. Semula kami satu tetapi tidak lama kemudian hanya aku dan istriku yang berjalan beriring. Aku tidak peduli. Kami larut dalam lautan manusia yang mengagungkan asma Allah.
Labaika Allohuma labaika. Labaika lasyarikala laka labaika. Kami tercerai oleh lautan manusia. Ada hitam, ada kuning, ada putih, ada coklat, ada ... . Kami larut dalam kekhusyukan. Tiap langkah adalah maghfiroh. Tiap langkah adalah barokah. Tiap putaran adalah kemuliaan. Ya Allah .....
Kakbah harum sekali.

Istriku sempat memaksa untuk sholat sunnah di Hijr Ismail tapi aku larang karena Rasulullah tidak mencontohkannya. Ketika sampai di Rukun Yamani aku dan istriku mengusapnya, karena rasulullah mencontohkannya. Nah, ketika akan sampai di Hajar Aswat, istriku ingin menciumnya, tapi banyak orang sudah ngantri dan berebut. Insya Allah, dengan sedikit tenaga ekstra aku bisa mencarikan peluang mencium Hajar Aswat. Tapi itu zalim. Zalim itu dosa. Wajib bagi kita menjaga untuk tidak menzalimi saudara. Dengan konsep itu, aku tidak mau mencarikan peluang. Lewat aja!

Istriku sempat memaksa untuk sholat sunnah di Hijr Ismail tapi aku larang karena Rasulullah tidak mencontohkannya. Ketika sampai di Rukun Yamani aku dan istriku mengusapnya, karena rasulullah mencontohkannya. Nah, ketika akan sampai di Hajar Aswat, istriku ingin menciumnya, tapi banyak orang sudah ngantri dan berebut. Insya Allah, dengan sedikit tenaga ekstra aku bisa mencarikan peluang mencium Hajar Aswat. Tapi itu zalim. Zalim itu dosa. Wajib bagi kita menjaga untuk tidak menzalimi saudara. Dengan konsep itu, aku tidak mau mencarikan peluang. Lewat aja!

Usai thowaf, kemudian kami sholat sunnah dua rakaat di belakang Makam Ibrahim. Ada sedikit halangan, tapi alhamdulillah. Usai sholat kami menuju sumur (kran) air zam-zam untuk minum. Usai minum zam-zam kami melakukan mas’a (sai dari shofa ke marwah), Semua lancar dan mudah. Umroh kami tutup dengan tahalul. Seperti yang disyari’atkan, aku pangkas habis rambut kepalaku dengan biaya 10 real. Alhamdulillah ya Allah. Telah Engkau mudahkan perjalanan haji hamba-Mu ini.

Aku, istriku, Pak dan Bu Warno bertahan di Masjidil Haram. Aku takut kehilangan sholat subuh. Aku ingin sholat subuh pertama kali di Tanah Suci ini di Masjidil Haram. Teman-teman seperjalanan pulang ke penginapan. Aku tidak takut tersesat. Aku percaya bahwa Allah akan menolongku.

Benar juga. Aku sholat subuh pertama di Masjidil Haram, meski harus nahan kencing karena semalaman tidak menemukan tempat untuk wudhu (cari tempat wudhu susah, jauh, dan tidak tahu e he he) dan menahan kantuk karena tidak tidur. Lelah dan ngantuk tidak perlu dirasakan. Pukul 05.30 pagi azan subuh baru berkumandang. Jam enam kurang seperempat baru dimulai sholatnya. Langit masih hitam.

Lagi-lagi di Masjidil Haram ini aku melihat kemusyrikan. Orang-orang mengusap-usap dinding Kakbah dengan tangan atau dengan kain, atau dengan apa saja khususnya di Hijir Ismail, Rukun Yamani, Hajar Aswat, Babu Multazam, lantas diciumi. Atau, ketika iqitidal sebelum sujud, melambaikan tangan kiss-bye terlebih dahulu ke Kakbah. Bah! Ini orang punya ilmu agama ndak sih!

Beberapa kali sempat aku tidak ikhlas sholat di Masjidil Haram karena di depan, di samping kiri atau kanan ada perempuan. Atau, saat sholat dilompati perempuan atau laki-laki, ada juga yang melintas-lintas di depan. Jadi ndak khusyuk tuh! Wah, betul-betul ndak punya ilmu ni makhluk. Mereka selalu beralasan: darurat! Apanya yang darurat. Lha wong ndak bisa diatur gitu kok darurat! Aku juga sempat bawel dan mbantu para asykar di Masjidil Haram memindahkan para perempuan ke shof yang paling belakang. Tapi, tetep aja mbandel. Dasar!

Di Mekah kurang lebih satu bulan penuh, setiap hari selalu berusaha ke Masjidil Haram karena desakan istri atau karena memang ingin. Setiap hari keliling-keliling di seputar Masjidil Haram. Beli nasi kuning model Bangladesh, India, dan atau Arab. Beli oleh-oleh 2 real-an untuk sanak saudara handai taulan. Rebahan nyantai di Masjidil Haram. Pokoknya enjoy aja. Sempat juga sih ikut program Haji plus, karena ada keponakan yang ikut. Wah memang enak tenan tuh! Nginep di depan pintu King Abdul Aziz, ruang berase, kasur empuk, makanan enak. Pantesan pada milih haji plus!

Hanya 2 hari yang terpaksa ngejumblek di penginapan karena harus menyiapkan diri Armina (Arofah dan Mina). Di Al Aziziah, jamaah haji indonesia selalu memenuhi mesjid-mesjid yang ada (mesjid-mesjid di sini tidak ada yang memakai nama). Selalu berebut shof yang paling depan. Akan tetapi, ada satu hal yang tidak dilakukan adalah merapatkan shof. Berbeda dengan jamaah dari Irak, Turki, Banglades, Pakistan, atau India yang selalu berusaha rapat, kalau perlu miring he he he. Itulah bedanya jamaah Indonesia dan asing.

Armina.

Tibalah saatnya menjalani puncak haji, yaitu wukuf di Padang Arofah. Kami berangkat ke Arofah dengan ber-talbiyah, ber-zikir, dan ber-khusyuk. Di benakku yang ada adalah padang gurun pasir yang gersang, kering, berdebu, dan kerumunan berjuta-juta manusia. Itu yang ada di benakku. Akan tetapi ternyata yang kulihat benar-benar 100% berbeda. Ribuan tenda terhampar, toilet terhampar, pohon-pohon dengan tinggi 3 meter menghijaukan Arofah. Sungguh pemandangan yang sangat indah, belum lagi matahari sore yang menunggu kedatanganku. Siluet merah jambu, ajaib memang. Setelah merapikan dan menempatkan barang bawaan, aku mendaki bukit kecil di luar maktab 22. Jauh di sebelah kiriku kulihat kerumunan manusia berdiri di puncak Jabbal Rohmah (masih di luar Arofah) memandang ke arah Mekah. Subhanallah! Mahabesar Allah dengan seluruh ciptaan-Nya.

Menjelang maghrib kami diangkut ke Muzdalifah untuk mabit. Jantung berdetak menunggu dan melewati ritual yang wajib dijalani. Rasulullah sholat maghrib dan isya’ di sini dengan dijama’ dan qoshor. Kami mengikuti sunnah Rasul. Namun demikian, ada beberapa jamaah haji yang menjamak dan mengoshor sholt maghrib dan isya’ di Arofah. Jelas ini menyalahi tuntunan dan contoh. Ada pula yang sibuk mencari batu. Mereka khawatir tidak akan mendapat batu di Mina. Padahal Rasulullah mencari batu di Mina.

Panitia pelaksana haji yang orang Indonesia yang mukim di Arab Saudi dibantu orang-orang Arab, Bangladesh, dan lain-lain memaksa kami untuk segera ke Mina, pdahal waktu masih menunjukkan pukul 10.27 malam. Kami, tentu saja, tidak mau. Mereka pura-pura marah dan memacu bis meninggalkan lokasi mabit. Tetapi kami tidak peduli, karena Rasulullah meninggalkan Muzdalifah pagi hari, atau jika ada uzur syar’i dibolehkan meninggalkan Muzdalifah tengah malam. Jadi kami tetap bertahan sampai tengah malam.

Di Muzdalifah, udara sangat bersahabat. Persis di Indonesia. Angin semilir membelai kami. Usai pukul 12.00 malam kami mulai beringsut ke tempat parkir bis. Satu persatu, tapi tetap berebut. Jalanan sangat ramai. Bis, orang-orang berjalan ke Mina, polisi yang ngatur lalulintas, dan para makelar bis yang teriak-teriak.

Tidak lebih setengah jam, sampai sudah di Mina. Mina hiruk-pikuk. Semua bangsa, semua warna kulit, tumplek blek di sini sehingga hasilnya adalah kekumuhan. Baru kali ini pula aku melihat jamaah haji dari Turki, Syria, dari mana saja mendirikan tenda di dalam mesjid Khoif dan di luar. Lingkungan menjadi seperti pasar. Sampah menumpuk di mana-mana.

Kami menunggu malam hari untuk melempar jumroh aqobah, karena memang begitu jadwalnya. Pukul 3 pagi kami muli dikumpulkan dan dibariskan. Pelan-pelan kami berangkat ke Jamarat. Teratur. Perjalanan dari tenda (Mina) sampai ke Jamarat kira-kira 1 jam. Penuh sesak. Satu rah dan satu maksud. Menjelang sampai di jamarat, rombongan yang tadinya rapi mulai terlihat emosional, dan betul. Kurang dari 60 meter rombongan tercerai berai. Emosional dan berebut. Astaghfirullah. Inilah gambaran manusia sebenarnya: tergesa-gesa!

Usai melempar jumroh aqobah, kami pulang dengan terpisah-pisah. Untungnya Bupati Sukoharjo membekali rombongan kloter SOC 15 ini dengan jaket oranye, so bisa terlihat dari jauh ... hanya campur dengan Dinas Kebersihan Arab Saudi. Geli ....hi hi hi

1 comment:

nafiah_latif said...

ustad....

ni Nafiah kelas X.3 MA


duh... bingung ni tad mau comment apa?!

nggak bisa caranya...

hahhahaha...
seperti kata ustad...
anak ndeso..!!

kan di kalijambe nggak ada warnet..



stelah baca blog ustad yang ini,
yang penting..
semoga ustad hajinya diterima Allah..
trus bisa naik haji lagi..
diberi yang terbaik untuk ustadz..
umurnya yang panjang dan bermanfaat.
Amin.

wisnu bergaya di arofah

wisnu bergaya di arofah
sedang bergaya sambil nunggu sore